Share:

Urgent Appeals Filed with UN by 63 Political Prisoners in Indonesia Amid the COVID-19 Pandemic

(London, Sydney, 15 April 2020) Sixty-three political prisoners detained on treason charges in Indonesia have made a joint urgent appeal to the UN Working Group on Arbitrary Detention and UN Special Rapporteurs.

The 63 political prisoners instructed Jennifer Robinson and Indonesian human rights lawyer Veronica Koman, with the support of human rights organisation TAPOL, to bring their cases to the UN. The urgent appeal demonstrates that all 63 prisoners are being arbitrarily and unlawfully detained, in violation of Indonesia’s international human rights obligations.

The prisoners are 56 indigenous West Papuans, five Moluccans, one Indonesian, and one Polish citizen. While most of them are on remand and still awaiting trial, seven have been sentenced and others are currently on trial. The great majority of the political prisoners (56) were arrested in the crackdown by Indonesian authorities during the mass protest movement in support of West Papua in 2019 (“the West Papua Uprising”). The activities for which they have been detained range from simply carrying or displaying the West Papuan or Moluccan national flags, to participation in peaceful protests and being members of political organisations which support self-determination: all internationally protected activities. All 63 political prisoners have been charged with treason (makar) under Article 106 and/or Article 110 of Indonesia’s Criminal Code, which can carry a sentence of up to 20 years.

Veronica Koman said: “The 56 names had been delivered, in February, to President Jokowi when he visited Australia and later to the Indonesian chief security minister, but we so far have not received any response, except the minister saying that the data was “probably just trash”. We urge the UN and the Indonesian government to take this matter very seriously now that lives are at stake. ”

The urgent appeal calls for all 63 prisoners to be immediately and unconditionally released. The COVID-19 pandemic, with the particular risk of outbreak in Indonesia’s overcrowded and unsanitary prisons.  In the wake of the pandemic, the UN High Commissioner has called for political prisoners to be released as a matter of priority. Indonesia, which has the highest death toll in Asia, has acknowledged the risk of the spread of COVID-19 due to prison overcrowding and has already released 30,000 prisoners. But the 63 political prisoners, who pose no threat to society, remain in prison.

Jennifer Robinson said: “These urgent appeals have been made given the imminent threat to the prisoners’ lives from being detained in overcrowded prisons amid the COVID-19 pandemic in Indonesia. Their detention in is now not only unlawful, but life-threatening. All 63 prisoners should be immediately and unconditionally released.”

The cases include:

Sayang Mandabayan (34), one of the few women to have ever been charged with treason, was arrested and detained in September 2019 after speaking at protests during the West Papua Uprising when police found 1,496 small Morning Star flags in her bag.  As a result of her arbitrary and unlawful detention, she is separated from her 1, 2, and 3 year old young children, and is only occasionally able to breast feed her youngest child in Manokwari of West Papua. She lost her job at Sorong City Council as a result of her arrest and detention. This picture of her breast feeding her child in prison went viral in Indonesia and beyond, with calls for her release.

Ms Mandabayan is one of 56 indigenous West Papuan prisoners who are part of the joint urgent appeal. The 63 prisoners also include Paulus “Suryanta” Ginting, spokesperson for the Indonesian People’s Front for West Papua (Front Rakyat Indonesia untuk West Papua), the first non-Papuan Indonesian to be charged with treason in relation to the West Papuan self-determination movement, and Jakub Skrzypski, a Polish citizen and the first foreign citizen to be charged and convicted of treason for meeting with a West Papuan political organisation advocating for self-determination.

Elderly couple, Izaak Siahaja (80) and Pelpina Siahaja (72), are in prison – convicted of treason and sentenced to 5.5 and 5 years – simply  because the banned Benang Raja flag, the national flag of the Republic of the South Moluccas, was displayed inside their home.

West Papuan human rights lawyer, Gustaf Kawer, added his voice to the concerns about the impact of COVID and called for the suspension of all legal proceedings amid the pandemic and for all the political prisoners to be immediately released.

Indonesian translation:

63 Tahanan Politik di Indonesia Mengirim Desakan ke Gugus Kerja Penahanan Sewenang-wenang dan Pelapor Khusus PBB di Tengah Pandemi

(London, Sydney, 15 April 2020) Enam puluh tiga tahanan politik (tapol) makar di Indonesia mengirimkan desakan ke Gugus Kerja Penahanan Sewenang-wenang dan Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Ke-63 tapol tersebut meminta pengacara hak asasi manusia (HAM) Jennifer Robinson dan Veronica Koman, dengan dukungan organisasi HAM TAPOL, untuk membawa kasus mereka ke PBB. Dokumen desakan ini menjelaskan bahwa seluruh 63 tapol tersebut telah ditahan secara sewenang-wenang dan tidak sah, karena telah terjadi pelanggaran terhadap kewajiban Indonesia dalam hukum HAM internasional.

Para tapol tersebut terdiri dari 56 orang asli Papua, 1 orang non-Papua Indonesia, 5 orang Maluku, dan 1 orang kewarganegaraan Polandia. Sebagian besar dari mereka masih menunggu untuk disidangkan, tujuh orang telah divonis, sedangkan yang lainnya sedang menjalani proses di persidangan. Mayoritas yakni sejumlah 56 tapol ditangkap ketika aparat keamanan Indonesia memberangus demonstrasi besar-besaran Papua pada 2019 (“the West Papua Uprising”). Ada yang ditahan hanya karena membawa bendera Bintang Kejora maupun Benang Raja, atau karena berpartisipasi dalam aksi damai serta menjadi anggota dari organisasi yang mendukung hak atas penentuan nasib sendiri: yang mana kesemuanya adalah kegiatan yang dijamin oleh hukum internasional. Kesemua 63 tapol tersebut dikenakan makar Pasal 106 dan/atau Pasal 110 KUHP, dengan ancaman penjara maksimal 20 tahun.

Veronica Koman mengatakan: “56 nama di antaranya telah disampaikan, pada Februari, kepada Presiden Jokowi ketika beliau mengunjungi Australia dan juga kepada Menkopolhukam, namun sejauh ini kita belum mendapat respon apapun, kecuali bahwa Pak Menteri bilang bahwa data tersebut ‘sampah’. Untuk itu, kami mendesak PBB dan pemerintah Indonesia untuk menanggapi masalah tapol ini secara serius karena sekarang nyawalah taruhannya.”

Desakan ini meminta supaya ke-63 tapol dilepaskan sesegera mungkin dan tanpa syarat. Pandemi COVID-19, terutama sangat beresiko di penjara Indonesia yang overkapasitas dengan sanitasi yang buruk. Menanggapi situasi pandemi, Komisioner Tinggi HAM PBB telah meminta supaya pembebasan tapol harus menjadi prioritas. Indonesia, dengan angka kematian tertinggi di Asia, telah mengakui resiko penyebaran COVID-19 di penjara yang overkapasitas dengan telah dibebaskannya 30.000 tahanan. Namun, ke-63 tapol ini, yang tidak menimbulkan ancaman bagi masyarakat, masih dipenjara.

Jennifer Robinson mengatakan: “Desakan ini dibuat karena adanya ancaman serius terhadap keselamatan jiwa tahanan yang ditahan di penjara yang overkapasitas di tengah pandemi di Indonesia. Kini penahanan mereka tidak hanya tidak sah tapi juga mengancam keselamatan jiwa. Semua 63 tapol tersebut harus segera dibebaskan tanpa syarat.”

Kasus-kasus tersebut meliputi:

Sayang Mandabayan (34), satu dari hanya beberapa perempuan yang pernah dikenakan makar, ditangkap dan ditahan pada September 2019 setelah berorasi di aksi yang menjadi bagian dari West Papua Uprising, ketika polisi menemukan 1.496 bendera Bintang Kejora berukuran kecil di tasnya. Akibat dari penahanan terhadapnya yang tidak sah dan sewenang-wenang, ia terpisah dari anak-anaknya yang masih berumur 1, 2, dan 3 tahun, dan hanya bisa kadang-kadang menyusui bayinya dari balik jeruji di Manokwari, Papua Barat. Ia kehilangan pekerjaannya sebagai ketua DPD Sorong akibat penangkapan dan penahanan ini. Foto dimana ia sedang menyusui bayinya di balik jeruji sempat viral di Indonesia dan di luar, hingga banyak seruan untuk membebaskannya.

Sayang Mandabayan adalah salah satu dari 56 tapol orang asli Papua yang mengirim desakan ini. Ke-63 tapol juga termasuk, Paulus “Suryanta” Ginting, juru bicara Front Rakyat Indonesia untuk West Papua, orang non-Papua Indonesia pertama yang dikenakan makar sehubungan dengan gerakan penentuan nasib sendiri Papua, dan Jakub Skrzypski, seorang WNA Polandia dan satu-satunya WNA yang pernah dikenakan dan divonis makar hanya karena sempat bertemu dengan organisasi politik Papua yang mengkampanyekan hak atas penentuan nasib sendiri.

Pasangan lansia, Izaak Siahaja (80) dan Pelpina Siahaja (72), dipenjara – diputus bersalah atas makar dan divonis 5,5 dan 5 tahun – hanya karena terdapat bendera Benang Raja, bendera nasional Republik Maluku Selatan, dipajang di dalam rumah mereka.

Pengacara HAM Papua, Gustaf Kawer, ikut menyuarakan kekhawatirannya atas efek dari COVID-19 dan meminta supaya seluruh proses hukum yang sedang berjalan dihentikan karena pandemi, serta supaya seluruh tahanan politik segera dibebaskan.